the adult ‘me’

It’s been ages since the last time I wrote stuffs in this blog. When I read things I wrote in the past, I can see my younger self being very enthusiastic about everything (which is nice). The ‘me’ now, maybe only possesses third of the energy I had back then. The ‘me’ now, is slowly becoming a bitter adult. In 2017, I got married to my now husband. I had a daughter in 2019, and the three of us now live in Edinburgh. I went back to Edinburgh in 2021 to get my doctoral degree. I am now in my second year of my doctoral study. My daughter is now three years old. I am with her almost 24/7 while my husband is working in an Italian bakery. While things are looking so great, my everyday life is very messy. I struggled so much to juggle everything. I have too much on my plate. My research is going downhill, my well-being is a mess, and problems keep piling.

Why is adulting so hard?

Why did no one tell me it’s going to be this exhausting?

Why did I think doing a PhD is a good idea?

The Light Rains on June (4)

03_F4DF4A93Tokyo dan Hokkaido sama sekali bukan jarak yang dekat. Dengan memilih Shinkansen pun aku dan Ryuu masih harus menempuh delapan jam perjalanan. Sepanjang perjalanan aku membayangkan bagaimana Ren bisa memutuskan pulang ke Hokkaido dengan naik mobil yang setidaknya akan memakan waktu delapan belas jam. Lalu aku mulai menyesal mengapa aku baru sadar sekarang, mengapa aku diam saja saat dia bersama ayah dan ibuku memutuskan untuk naik mobil ke Hokkaido. Aku merasakan pipiku basah dan tangan seseorang yang mendadak mengelap air mataku.

Ryuu menatap pantulanku dari jendela, dan aku menunduk balik. Tangannya yang besar kini merengkuhku, memelukku erat. Bukan mereda, air mataku makin menjadi. Sesekali aku menahan nafas, berharap agar air mataku tak turun dan membasahi kaos Ryuu.

“Ini pertama kalinya aku melihatmu menangis,” Ryuu kembali dengan komentarnya –yang tidak ingin kudengar. Aku bisa merasakan lelaki itu bermain main dengan rambutku. Ia meletakkan dagunya di kepalaku, menghela nafas berkali-kali, dan menggumam kecil, seperti tengah bernyanyi.

“Ah, aku merasa telah menjadi ayah,” ia menyambung komentarnya yang lagi lagi tak ingin kudengar.

Continue reading

The Light Rains on June (3)

03_F4DF4A93Seusai permintaannya yang aneh itu, Ryuu kabur ke kamar Ren, tempat ia tidur dari dua hari yang lalu. Aku belum sempat melemparnya ataupun memakinya karena keputusan bodohnya untuk membeli mobil dan apartemen dengan uang Ren. Mungkin dia tahu benar bahwa aku akan murka dan memutuskan lari ke kamarnya daripada menghadapiku sendirian. Aku berencana menggedor pintu kamarnya saat kurasakan ponselku bergetar. Nama Ryuu terpampang di layar.

“Shiba, kumohon jangan marah. Aku mencintaimu.”

Aku melongo membaca pesannya.

“Maksudku aku mencintaimu seperti anakku sendiri.”

Dan lebih melongo lagi saat membaca pesan keduanya. Continue reading

The Light Rains on June (2)

03_F4DF4A93
Tak banyak yang kuingat tentang Ren di Hokkaido. Dia telah tinggal di Tokyo lebih dari lima tahun sejauh yang bisa kuingat. Mengingat itu aku jadi sedikit lega karena aku tak perlu melihat bayangannya di rumah kedua orangtuaku. Ren bukanlah kakak yang manis. Dia takkan datang sekalipun misalnya aku menangis karena dikeroyok bocah bocah begundal dari SD-ku. Ren juga bukan lelaki yang banyak bicara. Aku ingat benar bagaimana dia bisa bersahabat karib dengan tiga temannya sekarang dan bagaimana Ren sangat menyayangi ketiganya. Sejauh yang kuingat, aku memang tak pernah terlalu dekat dengan Ren.

Satu-satunya yang terasa pekat dan tajam adalah ingatanku tentang ayah dan ibu. Meski keduanya pendiam, nyaris di tiap sudut rumah, aku melihat bayangannya. Kehilangan mereka bertiga sekaligus adalah hal yang tak pernah kubayangkan, bahkan dalam mimpi terburukku. Saat itu terjadi, seakan separuh kepalaku melayang, dan aku tak bisa berhenti menangis.

*

Haru, Kai, dan Ryuu ikut menginap di Hokkaido selama upacara pemakaman berlangsung. Satu-satunya kerabat ayahku kini tinggal di Edinburgh, dan baru akan datang dua hari lagi, sementara ibuku adalah anak tunggal yang telah kehilangan kedua orangtuanya semenjak SMA. Kai dan Haru memutuskan kembali ke Tokyo sehari kemudian, namun Ryuu masih tinggal di kamar Ren hingga hari ketiga. Ia terlihat sangat depresi, dengan kantung mata tebal dan mata lebam di pagi hari. Di antara mereka bertiga, memang Ryuu-lah yang paling dekat dengan Ren. Aku bisa melihat betapa mereka bahkan lebih mesra dari orang pacaran. Continue reading

The Light Rains on June (1)

03_F4DF4A93
My brother, Kaidou Ren, is an idiot. And his three friends are what you called a bunch of morons.

Lahir lima tahun lebih muda dari Ren, aku adalah saksi hidup betapa hidup ini penuh ironi karena empat pemuda yang entah mengapa selalu bergerombol itu menyia nyiakan masa muda mereka dengan hidup tak produktif secara berjamaah. Sebagai satu satunya adik Ren, aku terjebak di antara mereka berempat sejak pindah ke Tokyo setahun yang lalu. Aku dan Ren lahir dan besar di Hokkaido. Saat Ren memasuki usia SMA, dia pindah ke Tokyo. Lima tahun kemudian, saat aku masuk SMA, ayah dan ibuku memaksaku tinggal satu flat dengan Ren untuk menekan biaya sewa kamar, yang ternyata, di luar dugaanku, tinggal bertetangga dengan tiga teman begundalnya, Haru, Kai, dan Ryuu.

Nagasawa Haru adalah lelaki pertama yang dekat dengan Ren. Mereka berdua dekat sejak SMP, dan dia adalah laki laki paling aneh di antara mereka berempat. Meskipun berwajah lumayan, Haru paling malas mandi. Dia juga sangat suka makan, dan memakan apapun yang bisa dia telan saat dia lapar. Dan dia selalu lapar. Haru hanya memilih pacar yang jago masak, lebih kurang karena dia sangat suka memamah biak. Haru lahir sebagai sulung dari lima bersaudara, dan itu membuatnya selalu kelihatan lapar dan kurang gizi. Meski tinggi menjulang, badannya sangat tipis dan putih pucat. Walaupun Haru kelihatan selalu mengantuk dan mengerjakan semua hal serampangan, dia adalah kakak yang sangat penyayang. Haru telah bekerja part time sejak dia masih SMA.

Sakai Kikuchi adalah lelaki kedua yang dekat dengan Ren, lima hari setelah Ren dan Haru berteman akrab. Kai –begitu aku biasa memanggilnya- terlihat lebih akademis, dengan kacamata tebal, jam tangan besar di tangan kirinya, dan kemeja lengan panjang yang selalu ia tekuk setengah. Dia adalah gamer, otaku, dan penyuka drama Korea. Meski semua hal yang ia sukai kontradiktif, Kai adalah seorang introvert sejati. Dia hanya mau bicara dengan tiga teman se gengnya dan selalu kelihatan seperti tersedak lintah saat harus berkomunikasi dengan orang orang baru. Ia akan jadi seperti malaikat saat seseorang sudah mengenalnya dengan baik. Di antara tiga begundal itu, Kai-lah teman Ren yang paling manis dan baik padaku. Kai lahir dari keluarga yang cukup kaya, dan dia hanya punya seorang kakak perempuan. Kai sangat dekat denganku, karena kami punya hobi yang sama: membaca manga dan seharian memantengi drama Korea.

Continue reading

The Teacher’s Diary: Parodi Dunia Pendidikan

maxresdefault

Judul                    : The Teacher’s Diary

Sutradara            : Nithiwat Tharatorn

Produksi              : GSC Movies

Rilis                       : 31 Juli 2014

Durasi                  : 110 menit

***

The Teacher’s Diary  adalah bukti bahwa film edukasi tak melulu “berat” dan penuh pesan moral. The Teacher’s Diary bahkan berhasil  mengemas fenomena pendidikan dan kemiskinan rakyat pedalaman dalam komedi romantis yang lucu. Film besutan Nithiwat Tharatorn ini menggambarkan suasana pendidikan di daerah terpencil di Thailand yang sekilas mirip dengan program Indonesia Mengajar atau SM3T di Indonesia.

Continue reading

Menulis dan Self Branding

Saya bukanlah orang yang menarik atau memiliki kharisma. Saya kerap kali terlihat sangat awkward saat bertemu dengan orang-orang baru, dan kerap kali merasa “tidak diterima” dalam sebuah komunitas atau group. Saya terbiasa hidup di lingkungan yang homogen, dimana semua orang bertindak kurang lebih serupa dan sama. Maka saat saya keluar dari komunitas, dan bertemu dengan orang-orang baru, saya merasa sangat asing dan tidak nyaman. Tentu saja hal ini bukan sesuatu yang baik. Saya tahu betul pentingnya membentuk koneksi dan mengenal orang-orang baru. Namun apalah daya, hingga hari ini saya masih merasa “gagal” melakukan self branding, alias gagal menggambarkan diri saya sebagai seorang yang easy going, open-minded, dan gampang beradaptasi.

11270275_10206775315163469_6285532564905693173_o

Continue reading

Berburu Beasiswa LPDP

Adalah kado terbaik dalam tahun 2014 saat saya melihat nama saya terpampang dalam surat keputusan peraih beasiswa LPDP yang lolos wawancara periode Desember 2014 dengan tujuan MA Tesol University of Sheffield, UK (saat ini saya pindah ke MSc Tesol di University of Edinburgh, UK). Saya sampai pada tahapan ini atas bantuan banyak orang, dan saya berharap bisa berbagi dan meneruskan kebaikan tersebut melalui tulisan ini.
Semoga bermanfaat.

Continue reading

Daddy, Mommy, Jeongmal Saranghae! 4

KSLKyuhyun masih menelentang di kasurnya, menarik selimutnya hingga menutupi rambut. Di sebelahnya, Hyun Bin masih tidur dengan selimut tersingkap yang dijarah oleh ayahnya sendiri. Aku menarik paksa selimut dan menepuk punggung Kyuhyun sekeras yang kubisa. Hyun bin ikut terbangun, dan keduanya bereaksi sama, menggosok-gosok mata sambil saling tarik menarik selimut. Benar-benar ayah anak yang mirip.

“Mau kemana?” Kyuhyun menyahut tepat dengan suara Hyun Bin yang juga bertanya pertanyaan yang sama, “Kemana, Umma?”

“Hyun Bin-ah, cepat mandi, sayang, Umma keluar dulu,” aku melirik Kyuhyun yang masih malas-malasan membuka matanya.

“Mau kemana?” ia mengulangi pertanyaannya.

“Ke neraka,” jawabku malas sambil menyambar tasku di atas meja.

“Kenapa bawa tas? Mau bawa oleh-oleh juga dari neraka? ” ia tertawa sambil menendang kakiku dari belakang. Aku meliriknya, dan bocah raksasa itu malah mengedip-ngedipkan matanya sok imut.

“Cepat mandi sana, aku mau belanja ke supermarket sebelah,” aku menyahutinya balik. Dia masih nyengir.

“Aku ikut, ayo Hyun Bin, kita membantu Umma belanja!” entahlah, kenapa kata-kata ‘membantu’ barusan malah membuatku merinding. Pernahkah mereka berdua benar-benar membantu? Dan sebelum aku sempat menjawab, mereka berdua sudah berlari ke toilet, seprtinya hanya membasuh wajah dan sikat gigi. Terbukti, Cuma sepuluh menit, dan keduanya sudah keluar sambil menyambar handuk.

* Continue reading