The Light Rains on June (4)

03_F4DF4A93Tokyo dan Hokkaido sama sekali bukan jarak yang dekat. Dengan memilih Shinkansen pun aku dan Ryuu masih harus menempuh delapan jam perjalanan. Sepanjang perjalanan aku membayangkan bagaimana Ren bisa memutuskan pulang ke Hokkaido dengan naik mobil yang setidaknya akan memakan waktu delapan belas jam. Lalu aku mulai menyesal mengapa aku baru sadar sekarang, mengapa aku diam saja saat dia bersama ayah dan ibuku memutuskan untuk naik mobil ke Hokkaido. Aku merasakan pipiku basah dan tangan seseorang yang mendadak mengelap air mataku.

Ryuu menatap pantulanku dari jendela, dan aku menunduk balik. Tangannya yang besar kini merengkuhku, memelukku erat. Bukan mereda, air mataku makin menjadi. Sesekali aku menahan nafas, berharap agar air mataku tak turun dan membasahi kaos Ryuu.

“Ini pertama kalinya aku melihatmu menangis,” Ryuu kembali dengan komentarnya –yang tidak ingin kudengar. Aku bisa merasakan lelaki itu bermain main dengan rambutku. Ia meletakkan dagunya di kepalaku, menghela nafas berkali-kali, dan menggumam kecil, seperti tengah bernyanyi.

“Ah, aku merasa telah menjadi ayah,” ia menyambung komentarnya yang lagi lagi tak ingin kudengar.

“Sepertinya aku tak pernah melihat Ren memelukmu. Atau jangan jangan aku lelaki pertama yang memelukmu? Ah, aku merasa telah menjadi ayah,” ulangnya sambil terkekeh.

Aku mendorong tangannya dan menatapnya balik. Ia tersenyum lebar.

“Ren sering memelukku. Kai juga –dan Haru. Kau satu-satunya yang tak pernah memelukku,” balasku enggan. Mungkin mataku masih terlihat lebam, dan pipiku masih sangat merah, namun Ryuu yang tidak peka dan menyebalkan itu malah tertawa.

“Oh ya? Yah sebelumnya kita memang tak memiliki hubungan dekat. Lagipula kau tahu sendiri, aku tidak terlalu suka memeluk makhluk hidup,” lanjutnya. Aku mengernyit dengan pemilihan kosa katanya yang kurang normal dan ingin segera menyahut, tapi Ryuu lebih dulu meneruskan komentarnya. “Hm, aku bisa mengerti jika Kai suka memelukmu, tapi Haru?” balasnya dengan cengiran lebar, seolah dia ingin menggarisbawahi bahwa ‘Haru takkan sudi memelukmu tanpa alasan yang masuk akal’.

“Dia mengira aku pacarnya, saat pacarnya sedang ke kamar mandi.”

*

Sampai di Tokyo, aku telah kehilangan sebagian besar tenagaku. Ryuu kelihatan lebih parah lagi, dan bocah besar yang dari kemarin merengek ingin menjadi ayah angkatku itu dengan teganya menyuruhku menenteng ranselnya yang berat. Dia memegangi perutnya sambil menatap tempat sampah. Lalu ia muntah. Aku tak punya cukup energi untuk menolongnya. Aku hanya melihatnya dengan simpatik, namun tak tergerak untuk mengurut punggungnya atau menyodorkan air minum untuknya. Kami saling bertatapan, lalu kembali berjalan menuju apartemen Ren.

Aku tak terkejut mendapati apartemen Ren tak terkunci karena kemungkinan besar ada dua begundal yang tengah tiduran di dalam sana. Yang membuatku kaget adalah Haru yang dengan santainya membuka pintu dengan memakai kaos dan celana Ren. Aku melotot menatapnya.

Welcome home, Shiba! Welcome home, ayah Shiba!” tangan Haru merentang di hadapanku -yang tentu saja kuabaikan. Ryuu balas memeluk Haru. Mereka saling mengendus dan duduk di sofa bersamaan dengan tangan saling menaut.

“Kau tidak takut hantu Ren menarik celanamu di malam hari?” tanyaku sambil melempar tas dan mencopot kaos kakiku. Semasa hidupnya, tak sekalipun tiga temannya itu meminjam properti Ren. Mereka akan terlibat perdebatan panjang dan berakhir dengan Ren yang marah-marah dan menyuruh mereka memakai pakaiannya sendiri. Aku pun akan keberatan jika Haru meminjam pakaianku –dia jarang mandi, dan hei, dia mencuci bajunya tiga minggu sekali. Menyeramkan.

“Shiba, aku dan Kai telah memutuskan bahwa semua pakaian Ren akan disumbangkan untuk orang yang membutuhkan,” jawabnya diplomatis.

“Orang yang membutuhkan?” ulangku dengan tatapan ingin menggilas kepalanya.

“Yap. Orang yang membutuhkan pakaian.”

Aku melempar Haru dengan bantal sofa, menggebuk kepalanya dengan jaketku.

“Siapa orang bodoh yang merendam pakaian seminggu? Ya Tuhan, pakaianmu, rambutmu, semuanya bau telur busuk! Kalau kau berencana jadi sampah jangan datang ke rumahku!” teriakku sambil sepenuh hati menjambak rambutnya. Haru tertawa sambil memegangi tanganku, sesekali melindungi kepalanya dan berteriak-teriak memanggil Kai. Ryuu mendorong Haru ke lantai dengan kakinya. Kai yang baru saja keluar dari kamar mandi, melerai dan menarikku. Ia memegangi tanganku dan menyuruh Haru kembali duduk di sofa. Kai memelukku beberapa detik dan aku bisa melihat Ryuu dan Haru yang melihatku dengan deheman yang tidak perlu. Kai terlihat kikuk dan menarikku agar duduk di dekatnya.

“Akhirnya kau berani juga memeluk Shiba di depan publik,” Haru berkomentar dengan nada dibuat-buat.

“Aku ikut bahagia karena akhirnya anakku bisa bersatu dengan cinta pertamanya,” Ryuu menambahi sambil cekikikan melirik Haru. Aku berdiri dan menendang kaki mereka sebelum kemudian Kai menarikku lagi. Haru dan Ryuu sering meledekku karena aku sempat  tertarik pada Kai saat kami pertama bertemu tiga tahun yang lalu. Tentu saja reaksiku normal. Bayangkan saja setelah seharian bertemu Haru, Ryuu, dan Ren yang tidak manusiawi, aku kemudian bertemu dengan Kai yang manis dan baik hati. Bukan salahku kalau aku sedikit suka padanya, kan? Kai yang ikut kikuk dengan sengaja mengalihkan topik.

“Jadi apakah akhirnya kalian resmi ayah dan anak angkat?” Kai bertanya setelah kedua teman begundalnya berhenti tertawa.

“Bibinya mengurus surat adopsi di Hokkaido. Dia akan mengabariku seminggu lagi,” jelas Ryuu.

“Aku punya ide bagus. Bagaimana jika kau sekalian mengurus surat adopsiku? Kau bisa mengangkatku jadi anak pertama, dan Shiba akan jadi adikku. Mungkin aku bukan mahasiswa yang baik, tapi aku bisa jadi anak dan kakak yang baik,” Haru menyahut dengan wajah datar. Kai tertawa dan Ryuu menyumpal wajah Haru dengan bantal sofa. Ryuu mungkin bodoh, tapi Haru, aku bahkan kehilangan kosa kata untuk menjelaskan betapa engsel otaknya benar benar butuh direparasi.

“Dan apakah kau pikir aku mau jadi adikmu, hah?”

“Kau tidak keberatan Ryuu yang tidak berkualitas ini jadi ayahmu, mengapa tidak sekalian mengangkat aku yang tampan sebagai kakakmu?”

Oke, kalimat Haru barusan adalah kalimat paling fantastis yang kudengar hari ini. Kenapa dia bodoh sekali, hah?

“Aku akan memberimu seribu yen kalau kau bisa memberiku alasan yang logis mengapa ada manusia yang mau mengadopsimu,” sahutku balik. Haru menatap Ryuu dan Kai bergantian.

“Karena akulah yang kau tahu, paling tampan, dan aku jugalah yang paling mengerti wanita diantara dua lelaki tak berpengalaman ini. Kau akan membutuhkan kakak seperti ini untuk membangun masa depan yang cerah,” Haru menjawab dengan bangga.

“Yah, diamlah kalian berdua. Shiba, cepat mandi. Haru akan memasakkan makanan untukmu, bukannya besok kau mulai sekolah?” Ryuu melerai dan menyuruhku cepat cepat ke kamar mandi. Aku bangkit berdiri, sementara Haru menuju dapur. Kai masih duduk di sofa menatap ponselnya bersama dengan Ryuu yang selonjoran di depannya.

Seusai mandi, aku mendapati makanan aneh di atas meja. Aku kesulitan mengidentifikasi sup jenis apakah yang baru saja dimasak Haru, namun melihatnya yang duduk diam sambil mengamati reaksiku membuatku sedikit baik hati untuk tidak mengejeknya. Sayangnya aku berubah pikiran setelah satu sendok kuah sup itu masuk ke mulutku.

“Oh Tuhan, semoga aku tidak mati malam ini,” kataku sambil menatapnya. Haru tertawa keras sambil melempar sebotol plastik saus.

“Kau bisa tambahkan MSG dan saus di dalamnya,” komentarnya bijak. Dengan enggan aku menghabiskan separuh sup yang ia buat. Haru dengan baik hati menawarkan akan mencuci piring dan mangkukku. Ia juga mengambilkan segelas susu hangat yang biasa kuminum sebelum tidur. Aku sedikit curiga dengan perilakunya yang mendadak hangat, mungkin inilah apa yang ia bilang tentang ingin menjadi kakakku. Aku masih ingin meledeknya kalau saja mataku tak terasa sangat berat seperti sekarang ini. Setelahnya, aku buru buru masuk kamar dan membungkus tubuhku dengan selimut.

Aku tak sadar seberapa lama aku memejamkan mataku dan seberapa lama aku gagal tidur hingga kudengar suara pintu kamarku terbuka. Aku mendengar langkah kaki dan suara serak Haru yang perlahan mendekati ranjangku.

“Ini untukmu,” ujarnya sembari menjejalkan sebungkus tissue basah ke tanganku. Aku mengernyit tak mengerti sementara Haru hanya memandangku dengan kikuk. Ia mungkin tidak sadar tengah menggaruk belakang kepalanya.

“Untuk mengompres matamu, biar tidak bengkak,” lanjutnya dengan volume lebih pelan. Lalu dengan sangat aneh lelaki besar dan menjulang itu lari ke pintu dan mengucapkan selamat malam. Aku bengong menatap daun pintu yang menutup dan berganti menatap sebungkus tissue basah di tanganku.

Siapa orang bodoh yang mengompres mata dengan tissue basah?

*

4 thoughts on “The Light Rains on June (4)

  1. Ngakak ! Hahahahaa
    Ini smua nya pada absurd .
    Gak shiba , gak ryu , gak haru dan gak kai . smuanya sama absurd nyaa . hahha ditunggu segera kelanjutannya

Leave a comment