The Light Rains on June (1)

03_F4DF4A93
My brother, Kaidou Ren, is an idiot. And his three friends are what you called a bunch of morons.

Lahir lima tahun lebih muda dari Ren, aku adalah saksi hidup betapa hidup ini penuh ironi karena empat pemuda yang entah mengapa selalu bergerombol itu menyia nyiakan masa muda mereka dengan hidup tak produktif secara berjamaah. Sebagai satu satunya adik Ren, aku terjebak di antara mereka berempat sejak pindah ke Tokyo setahun yang lalu. Aku dan Ren lahir dan besar di Hokkaido. Saat Ren memasuki usia SMA, dia pindah ke Tokyo. Lima tahun kemudian, saat aku masuk SMA, ayah dan ibuku memaksaku tinggal satu flat dengan Ren untuk menekan biaya sewa kamar, yang ternyata, di luar dugaanku, tinggal bertetangga dengan tiga teman begundalnya, Haru, Kai, dan Ryuu.

Nagasawa Haru adalah lelaki pertama yang dekat dengan Ren. Mereka berdua dekat sejak SMP, dan dia adalah laki laki paling aneh di antara mereka berempat. Meskipun berwajah lumayan, Haru paling malas mandi. Dia juga sangat suka makan, dan memakan apapun yang bisa dia telan saat dia lapar. Dan dia selalu lapar. Haru hanya memilih pacar yang jago masak, lebih kurang karena dia sangat suka memamah biak. Haru lahir sebagai sulung dari lima bersaudara, dan itu membuatnya selalu kelihatan lapar dan kurang gizi. Meski tinggi menjulang, badannya sangat tipis dan putih pucat. Walaupun Haru kelihatan selalu mengantuk dan mengerjakan semua hal serampangan, dia adalah kakak yang sangat penyayang. Haru telah bekerja part time sejak dia masih SMA.

Sakai Kikuchi adalah lelaki kedua yang dekat dengan Ren, lima hari setelah Ren dan Haru berteman akrab. Kai –begitu aku biasa memanggilnya- terlihat lebih akademis, dengan kacamata tebal, jam tangan besar di tangan kirinya, dan kemeja lengan panjang yang selalu ia tekuk setengah. Dia adalah gamer, otaku, dan penyuka drama Korea. Meski semua hal yang ia sukai kontradiktif, Kai adalah seorang introvert sejati. Dia hanya mau bicara dengan tiga teman se gengnya dan selalu kelihatan seperti tersedak lintah saat harus berkomunikasi dengan orang orang baru. Ia akan jadi seperti malaikat saat seseorang sudah mengenalnya dengan baik. Di antara tiga begundal itu, Kai-lah teman Ren yang paling manis dan baik padaku. Kai lahir dari keluarga yang cukup kaya, dan dia hanya punya seorang kakak perempuan. Kai sangat dekat denganku, karena kami punya hobi yang sama: membaca manga dan seharian memantengi drama Korea.

Yang terakhir, dan aku bersumpah dia adalah yang paling menyebalkan, Onodera Ryuu. Ryuu adalah tipe lelaki yang menurutku kurang manusia. Dia bicara seenak kentut, dan sangat tidak peka. Ryuu akan berkomentar sekalipun aku tak ingin bicara dengannya, dan sekali saja mulutnya terbuka, maka manusia jenis apapun ingin membuangnya ke rawa rawa. Satu satunya kelebihan Ryuu adalah wajahnya. Banyak temanku yang bilang jika wajahnya di atas rata rata. Rambut bergelombangnya dicat merah kecoklatan dan membuat wajahnya kelihatan lebih muda tiga tahun meskipun bagiku –yang bosan setengah mati dengan wajahnya- hanya kelihatan seperti sebongkah brokoli busuk. Aku tak pernah tertipu dengan wajahnya, karena jika saja gadis-gadis polos itu kebagian kesempatan hidup sehari dengan Ryuu, maka sepertiku, mereka pasti ingin membungkusnya dengan plastik dan melemparnya ke selokan.
*
“SHIBA!”
Telingaku menangkap suara berat Ryuu dan kaki kirinya yang besar menginjak keningku. Aku masih setengah sadar setelah sepertinya ketiduran di depan pintu flat Ren. Aku bahkan tak tau kapan Ryuu masuk kesini. Kalau saja aku tak lagi mengantuk, mungkin aku sudah melempar Ryuu dengan pompa sepeda di depan pintu masuk. Aku menangkap kakinya dan dia terjengkang ke belakang.
“Mau mati, hah?” Bentakku sambil masih memiting kakinya.
“Aku lapar, Shiba. Kau harusnya sudah masak dari jam lima, kenapa baru pulang?” Lanjutnya sambil memasang wajah tak bersalah. Aku mendesah frustasi. Haruskah aku menjelaskan pada lelaki bodoh di depanku ini kalau aku sedang meregang nyawa karena minggu ini aku sedang ujian?
“Kau tak lihat aku hampir pingsan di depan pintu?” Balasku sengit sambil menunjuk wajahnya. “Dan kau, brokoli busuk, ini adalah minggu UJIAN!”
Kali ini aku mendengar derap langkah dan suara pintu terbuka, yang tak lain tak bukan, adalah begundal kedua, Haru, yang dengan santainya cengengesan sambil menatapku yang tidur di depan pintu masuk.
“Apa menu hari ini, Shiba? Aku sebenarnya agak sibuk dan tidak punya waktu luang, tapi aku tidak tega meninggalkan kalian makan sendirian,” sahutnya riang dengan muka jauh lebih menyebalkan dari Ryuu. Ada dua anak kalimat yang salah dengan kalimat bodohnya barusan, pertama; aku tidak mengundang anak kurang gizi itu untuk makan bersama, dan dua; aku bersyukur kalau dia sibuk dan tak punya waktu luang untuk seenaknya mampir ke flat Ren. Mereka berdua toss bersamaan dan menatapku penuh harap.
“Kau bisa minum Yakult di kulkas” jawabku malas, “ambil saja empat atau lima botol sampai diare!”
Ryuu dan Haru tersenyum seram dan aku hafal apa yang akan mereka lakukan setelah ini.
“REN! SHIBA MENOLAK MASAK!” teriak Ryuu menggelegar. Ren, dan ini adalah part paling menyakitkan dari seluruh kisah ini, akan melakukan apapun untuk membuat ketiga sahabat baiknya itu berbahagia, meskipun itu artinya dia menyiksaku, satu satunya adik perempuannya. Terkadang aku curiga bahwa Ren sebenarnya tak menyukai wanita, karena dilihat dari manapun, sikapnya kepada tiga makhluk begundal itu terlalu manis dan sedikit menjijikkan. Mungkin di lupa bahwa aku adiknya, dan mungkin dia lupa bahwa tiga sahabat menyebalkannya sama sekali tak punya hubungan darah ataupun berkontribusi positif pada karirnya.
“Shiba! Kau mau aku kirim kembali ke Hokkaido, hah?” Balas Ren sambil melongokkan kepalanya dari dalam kamar. Aku mendengus kesal dan melempar pandang ke dua temannya yang entah sejak kapan sudah saling merangkul dengan senyum lebar penuh kemenangan. Kalau saja aku punya racun sianida, dan kalau saja mereka berdua dianggap tikus di mata hukum, mungkin mereka berdua sudah mati keracunan dari setahun yang lalu. Saat itulah mendadak kudengar suara ketukan pintu dan satu lagi wajah yang aku hafal di luar kepala, Kai!

“Shiba, aku bawa Ramen kesukaanmu!” teriaknya riang. Kai terlihat kikuk dengan enam pasang mata yang langsung melotot dan merebut tas plastik dari tangannya. Haru, Ren, dan Ryuu pun berlari ke dapur, buru buru menuang ramen ke dalam mangkok besar, dan berteriak ‘Itadakimasu’ sambil berebutan memancing ramen dengan sumpit mereka. Dan seperti biasa, mereka lupa bahwa ada satu wanita teraniaya yang Cuma bisa mencium bau ramen sambil menyumpah nyumpah di belakang mereka bertiga. Kai menepuk bahuku, dan menyeretku ke depan ruang tengah. Disana, dia membuka satu porsi ramen dari dalam tas ranselnya. Ia tersenyum lebar dan menaruhnya di tanganku.

“Kai, menikah saja denganku. Aku benar-benar suka denganmu!” teriakku kegirangan.

*

Flat milik Ren –yang sekarang kutinggali- adalah basecamp favorit empat bersahabat itu. Sederhana saja, flat milik Ren adalah yang paling luas karena memang didesain untuk pasangan suami istri. Flat ini juga memiliki dapur yang sedikit lebih luas dari dapur di flat mereka bertiga. Aku tak punya pilihan selain harus mematuhi Ren, karena dia satu-satunya tiketku untuk tinggal di Tokyo. Di Hokkaido, tak banyak pilihan SMA yang bisa kuambil untuk kemudian bisa masuk universitas favorit di Jepang. Dan bagi orangtuaku yang sangat pelit, tinggal bersama dengan Ren adalah satu-satunya opsi untuk menghemat biaya hidup, mengingat SPP-ku pun lumayan mahal, dan mengingat fakta pahit bahwa Ren masih kuliah dan tak berpenghasilan.

Biasanya, empat makhluk berantakan itu akan berkumpul pada jam 3 sore seusai kuliah mereka selesai. Meski selalu lengket kemana-mana, mereka toh mengambil jurusan yang berbeda satu sama lain. Haru dan Ryuu mengambil jurusan Hukum Internasional, sementara Kai mengambil jurusan Sastra Inggris. Ren adalah satu-satunya yang kelihatan paling mencolok, karena dia mengambil jurusan Astronomi. Sore ini, seperti biasa, empat sekawan tak terpisahkan itu berkumpul lagi di flatku untuk menonton Serial Barat yang baru selesai mereka download, Game of Thrones. Mereka tak sedikitpun sungkan menyetel dengan loud speaker, dan pura pura tidak tahu kalau aku sedang belajar untuk ujian sekolah.

“Ren, kecilkan sedikit volumenya,” sindirku dari kamar.

“Maaf Shiba, baterai remote-nya hilang,” teriak Ryuu dari ruang tengah. Aku mendengus dan masuk ke ruang tengah, memelototi mereka berempat yang tidur berjajar. Sekilas saja aku tahu bahwa mereka sengaja mencabut baterai remote TV. Aku melihat Haru yang meremas benda kehitaman di tangannya, yang siapapun akan tahu bahwa itu baterai remote. Aku menginjak tangan Haru dan dia berteriak kesakitan. Baterai remote yang diremasnya kini bergulung di lantai. Ryuu buru buru merebut baterai remote itu dan kini berebutan denganku. Ryuu memang terkenal gesit dan dalam hitungan detik ia sudah melempar baterai remote itu ke arah Ren, yag bodohnya sama sekali tak siap. Baterai seberat 200 gram itupun mendarat di kepalanya dengan suara benturan yang lumayan keras. Aku tertawa puas dan meninggalkan ruang tengah sambil sekali lagi menginjak tangan Haru. Ryuu dan Haru pun berebutan meminta maaf pada Ren. Aku melihat Kai hanya sibuk tertawa dan tak melakukan apa-apa. Kejadian bodoh seperti ini bukan pertama kalinya. Haru dan Ryuu selalu membuat ulah, dan Ren yang pasif biasanya hanya kebagian getahnya, sementara Kai selalu setia jadi penonton. Dan disini, aku adalah pihak paling menderita, dilupakan dan dianiaya. Meski begitu, tak pernah sekalipun aku terpikir untuk kembali ke Hokkaido atau pindah ke tempat lain. mereka mungkin sangat menyebalkan, namun mereka telah jadi bagian dari keseharianku. Sedikit banyak aku memahami perasaan Ren, meskipun aku tak sedekat itu dengan ketiga temannya.

“Kau tahu, Shiba, mereka adalah rumahku,” kata Ren suatu hari. Aku meliriknya dengan sedikit jijik. Sudah aku bilang kan, kalau Ren kadang-kadang kelewat manis pada tiga peliharaannya itu?

“Ren, aku pikir ini sudah waktuny kau mencari pacar. Menurutku, hubungan kalian berempat sama sekali tidak sehat, dan memangnya sampai kapan kalian mau hidup membujang bersama?” sahutku. Ren hanya tersenyum sekilas.

“Haru punya pacar, dan dia bilang bahwa Ryuu jauh lebih menarik dari pacarnya,” balas Ren.

“Itulah mengapa aku bilang hubungan kalian sama sekali tidak sehat. Jangan bilang kalian berempat gay,” komentarku lagi. Kali ini Ren tertawa keras dan menjitak kepalaku. Aku setuju bahwa Ryuu memang menarik, tapi lain lagi ceritanya jika Haru yang bilang begitu.

“Sebenarnya aku sama sekali tak pernah tertarik punya pacar,” lanjut Ren. Kali ini aku meliriknya dengan pandangan lebih serius. Bukankah kata-katanya barusan sangat menakutkan? Mungkin Ren adalah satu dari sekian kasus aseksual, dimana seseorang tak punya ketertarikan entah pada wanita ataupun pria di sekitarnya, atau skenario lain; dia memang suka laki-laki.

“Aku selalu merasa aku harus menyayangi mereka sebanyak yang kubisa, karena nanti pada saatnya mereka juga akan menyayangi apa yang kusayangi sebanyak yang aku lakukan. Dan entahlah, aku selalu punya perasaan bahwa aku tak punya banyak waktu untuk itu,” Ren menatapku lamat. Jujur saja, ini bukan pertama kalinya Ren bicara seakan dia akan mati esok hari, dan sebenarnya aku jengkel sekali dengan alasannya yang tak masuk akal. Mereka sudah berteman lebih dari tujuh tahun, dan dia selalu bilang tak punya banyak waktu untuk teman-temannya. Bagaimana dengan aku yang adiknya? Apa dia amnesia? Apa dia lupa punya adik bernama Shiba yang saat ini sedang berbicara dengannya?

Aku selalu menganggapnya seperti orang yang bicara sambil mabuk atau ketiduran karena seringkali hal-hal yang dia bicarakan biasanya terlalu tak masuk akal dan seringkali seputar hal-hal aneh yang terkesan supernatural. Bukan Ren kalau dia tak seaneh alien. Semingguan inilah baru aku sadar apa yang dia maksud dengan semua kalimat anehnya yang seperti orang mengigau itu. Ren dan kedua orangtuaku meninggal tepat seminggu setelah aku naik ke kelas tiga SMA. Di satu hari di bulan Juni yang mendung dan gerimis, ketiganya meninggal saat menaiki mobil yang tertabrak truk di perjalanan menuju Hokkaido.

*

Note: Onodera Ryuu adalah cowok di cover depan. 

6 thoughts on “The Light Rains on June (1)

Leave a comment